Jakarta, Kota Penguji Nurani
Kala itu, waktu
sore hari di toko buku. Dari emperan toko, aku melihat seorang anak kecil yang
mungkin sepantaran dengan adikku berjalan dengan menjunjung karung besar di
punggung tubuhnya yang mungil. Baju nya yang lusuh memberitahuku siapa dia. Ia
terus berjalan tanpa menghiraukan kebisingan jalanan. Dan mirisnya, aku hanya
terpaku memandangi bocah kecil itu.
Kebetulan waktu
itu aku belum lama hidup di perantauan,
di kota metropolitan, Jakarta. Aku yang berasal dari kampung, dimana
seorang anak kecil seusianya hanya tahu main, main dan main, disini aku
disuguhi pemandangan sebaliknya. Aku prediksi usia
bocah itu belum genap tujuh tahun, namun punggung nya sudah memikul beban hidup
dan sudah berusaha memutar otak memikirkan bagaimana cara agar bisa makan.
Pemandangan yang
menyakitkan mata dan juga batin ketika kita tidak bisa berbuat apa – apa.
Otakku sibuk
merenung, terlalu banyak menimbang – nimbang. Ragu untuk membantu. Namun ketika
sudah yakin, bocah kecil itu malah semakin kecil, dan enyah dari pandangan. Rasa bersalah
semakin memojokkanku. Punya tangan namun untuk mengulurkannya pun enggan.
Selama perjalanan
mata ku menangkap bocah itu lagi, ia sedang duduk di bawah pohon menghitung rupiah
yang telah ia upayakan. Dari kaca jendela, lagi – lagi aku hanya bisa
memandanginya karena situasi tidak mendukung untuk bisa turun dari mobil yang
sedang aku tumpangi.
Dan untuk
kesekian kalinya, aku mengutuki diriku sendiri.
Dirundung rasa
bersalah itu sangat tidak nyaman. Mengganggu pikiran. Sebagai seseorang
dengan kelayakan yang sudah Tuhan berikan, aku merasa memiliki tangggung jawab mencukupi
kebutuhan orang – orang yang masih kekurangan. Atau paling tidak, mengurangi
beban walau sedikit.
Seribu, dua ribu.
Apakah kita tidak terlalu serakah untuk merasa berat hati memberikan nominal
receh untuk orang – orang itu ? Sedangkan untuk
memenuhi nafsu sendiri, kita mudah mengeluarkan dollar dengan sukarela tanpa
berfikir panjang. Rasa itu yang
kerap membuatku bersimpati dengan diriku sendiri. Cukup akan materi
namun krisis nurani.
Sebenarnya
kejadian ini sudah lama, namun belum basi untuk diungkit lagi. Holaspica
mengantarkanku kembali pada memori itu dengan lagunya yang berjudul Naik ke
Laut. Memutar lagi rekaman itu, detik – detik dimana aku hanya bisa terpaku,
dan tak lupa larut kembali pada rasa bersalah yang telah lalu namun masih
menjadi hantu.
Bila
dirimu tak mau berdiri
Meski
engkau tahu dia butuh kursi mu
Bila
semua mencoba menutup mata
Yang
baik tersingkir
Coba
berfikir
Naik
ke Laut, siapkan perahu, dayung dan ingatan pasti kan bicara
-Holaspica
“Naik ke Laut”
Singkat, padat,
namun sarat makna.
Dan karena aku
tidak ingin tersiksa lagi dengan rasa itu, aku ingin melepaskan diri dengan
menuliskan itu disini. Dan berharap kalian, tidak menjadi seperti aku.
Jakarta, dan
bocah kecil itu mengajarkan ku untuk jangan banyak meragu dalam hal membantu.
Karena sebenarnya, ketika kita menolong orang lain, kita juga sedang menolong
diri sendiri. Hilangkan mindset “Aku aja lagi susah, kenapa harus pusing –
pusing menolong orang lain?”. Padahal, ketika kita menghibur orang lain, kita sebenarnya sedang menguatkan diri
sendiri. Ketika kita mengorbankan waktu, tenaga, dan uang, kita pun sedang
memberkati diri sendiri.
Oleh karena itu,
biarkanlah diri kita menjadi saluran bagi Tuhan untuk menyebarkan kebaikan-Nya
bagi orang – orang yang ada dalam jangkauan kita.
Karena orang yang menabur cinta, akan menuai lebih banyak cinta.
![]() |
image source : http://www.secondhouse.club |
Komentar
Posting Komentar